Jalur Mati Ponorogo


Penelusuran jalur mati di Ponorogo ini saya lakukan bersama Aghi, sudah lama direncanakan, tetapi baru terlaksana yakni pada tanggal 31 Desember 2012, tepat di penghujung tahun itu. Kami mengambil rute melewati Wonogiri – Purwantoro, ini akan jadi yang pertama kalinya bagi kami melewati jalan raya tersebut. Membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam untuk mencapai perbatasan provinsi, dengan kondisi medan pegunungan yang menanjak dan menurun, hingga kemudian memasuki daerah Badegan, inilah awal penelusuran kami.

Baca Juga Tips Dewasa
Jalur Mati Badegan – Ponorogo
Berdasarkan peta kuno di KITLV, terdapat 2 percabangan dari Ponorogo, yaitu menuju Slahung dan Badegan. Pada jalur menuju Badegan ini terdapat setidaknya 5 stasiun dan halte, yakni Badegan, Kapuran, Srandil, Sumoroto, dan Karanglo. Kami mencoba menelusuri dari Pasar Badegan yang ada di sebelah selatan jalan, karena biasanya stasiun tak jauh dengan pasar. Namun, hasilnya nihil, tak satupun jejak sejarah yang kami temukan.
badegan
Peta Jalur Badegan-Ponorogo, tahun 1923 (source: KITLV.nl)
Kami terus berjalan menuju Ponorogo dan melihat kanan kiri jalan siapa tahu kami menemukan petunjuk. Pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh menyenangkan hati dan jalan tak terlalu ramai lalu-lalang kendaraan. Hingga mencapai Kota Ponorogo hasilnya tetap nihil. Sebenarnya kami mendapat informasi bahwa dulu masih ada bekas jembatan di sungai sebelum memasuki kota. Namun, karena terbatasnya waktu kami belum sempat mengetahui kebenarannya. Kemungkinan sudah tidak ada bekasnya karena memang sudah lama mati sebelum matinya jalur Ponorogo-Slahung. Hanya bekas gundukan tanah yang lurus dan adanya arah jalan yang tidak wajar yang tersisa yang kami jumpai sepanjang jalan.

Jalur Mati Ponorogo – Slahung
Stasiun Ponorogo
Tiba di Kota Ponorogo, kami masih mencari-cari keberadaan Stasiun Ponorogo, karena masih asing di kota ini dan belum tahu jalan-jalan di sini. Tak lama kemudian kami melewati pasar dan menemukan tiang sinyal dan sedikit bekas rel, berada di seberang pasar, tepatnya di Jalan Soekarno Hatta. Hal yang paling meyakinkan adalah sebuah warung kopi yang bernama “stasiun”, mirip dengan kondisi bekas Stasiun Bantul yang ada “warung bakso stasiun”-nya. Tetapi akhirnya kami lebih tertarik dengan warung soto di sebelahnya toko buah ABC, mungkin nanti kami bisa mengorek banyak informasi dari pemilik warung.
Kami sarapan dulu di warung tersebut karena sebenarnya kami sudah lapar, tadi belum sarapan dari rumah. Kami bertemu dengan Ibu Komariyah, pemilik warung soto tersebut. Dari beliau lah kami mendapat banyak informasi, karena beliau merupakan warga asli di situ dan menyewa kios di bekas bangunan Dipo Stasiun Ponorogo. Ketika ditanya tentang keberadaan bangunan stasiun beliau mengatakan bahwa bangunan Stasiun Ponorogo sudah dibongkar dan didirikan bangunan baru, sekarang di sekitar bangunan Radio di depan pasar. “Bangunannya sudah dibongkar semua mas, tinggal bangunan ini (dipo), pemutar loko (turntable), dan sedikit bekas jalur rel di belakang. Lhawong bangunan ini (dipo) saja sudah ndak asli lagi, mungkin tinggal kios bengkel sebelah yang masih asli bentuknya,” terang beliau. Di area bekas stasiun tersebut sekarang berdiri sebuah kantor KAI yang berfungsi untuk melayani pembayaran sewa lahan milik KAI, dilihat dari bangunannya masih terhitung baru dibangun.
11-st-po
15-st-po
16-st-po
17-st-po
5-st-po
18-st-po
Bekas Dipo dan Stasiun Ponorogo
14-st-po
6-st-po
Sudut bangunan yang masih asli
4-st-po
2-st-po
1-st-po
Kondisi Emplasemen
12-st-po
13-st-po
Jalur rel dari arah utara (Madiun)
Beliau juga menunjukkan lokasi bekas turntable yang tak jauh berada di belakang warungnya. Setelah kami tiba di lokasi ternyata bentuknya sudah tak seperti yang saya lihat di foto jaman dulu ketika masih aktif , benar-benar jauh dari ekspektasi kami. Sekarang sudah menyatu dengan pabrik tempe dan sebagian telah diuruk dengan tanah, sungguh menyedihkan bagi kami melihat kondisinya yang sekarang, mengapa tidak seorang pun yang mencegahnya.
7-st-po
3-st-po
8-st-po
9-st-po
10-st-po
Bekas Turntable Stasiun Ponorogo
Setelah itu kami kembali ke warung Bu Komariah untuk bertanya lagi. Beliau mengatakan bahwa dulu sebelum dimatikan memang sudah sepi penumpang, kalah dengan angkutan roda karet. Ditanya tentang rencana pengaktifan kembali jalur Madiun – Slahung, beliau setuju saja, karena beliau juga sadar tanah yang ditempati adalah tanah milik KAI dan selama ini hanya menyewa. Namun, beliau juga minta untuk diberikan tempat pengganti untuk berjualan, yang tidak jauh dari lokasi tersebut.
Setelah selesai lalu kami melanjutkan perjalanan mengikuti peta jalurnya. Dari bekas stasiun kami menuju ke selatan kemudian ada pertigaan belok ke kiri menuju Jalan Ir. Juanda, terus ke timur hingga perempatan Siman, lalu belok ke selatan. Dari peta seharusnya ada Stasiun Siman, tetapi tidak dapat kami temukan, yang ada hanyalah Terminal Siman. Kemungkinan bangunan stasiun sudah disulap menjadi terminal tersebut. Kami terus ke selatan menuju ke Jetis. Sepanjang perjalanan masih dapat ditemui bekas rel di kanan jalan dan kondisinya masih baik, meski sebagian terbenam tanah. Selain itu, juga masih ada banyak bekas pondasi jembatan kecil yang tersisa.
19-siman
20-siman
21-siman
23-siman
24-siman
Kondisi Bekas Jalur Rel Sepanjang Jalan Raya Siman
Stasiun Jetis
Sekitar 15 menit dari Siman kemudian kami tak sengaja melihat sebuah bangunan yang mirip stasiun, tepatnya setelah perempatan Jetis, dan ternyata merupakan bekas Stasiun Jetis. Agak tak terlihat dari jalan karena di diapit oleh bangunan bertingkat di kanan-kirinya. Selain itu, juga di bagian depan bangunan stasiun terdapat warung yang menutupi hampir setengah bangunan. Bangunannya terhitung masih baik dan tidak banyak berubah. Akan tetapi, sekarang bangunan menyatu dengan sebuah bangunan baru di belakangnya yang berfungsi sebagai tempat tinggal.
Di belakang bangunan stasiun masih tersisa 2 jalur rel yang masih utuh, kemungkinan dulunya terdapat 3 jalur di sini. Dan satu lagi, tulisan nama stasiun masih komplit di sisi utara bangunan stasiun, dengan ejaan lama “Djetis”.
25-jetis
26-jetis
27-jetis
28-jetis
29-jetis
Bekas Stasiun Jetis
Dari petak Ponorogo-Balong terdapat Stasiun Siman, Brahu, Jetis, dan Ngasinan. Namun, kami hanya mendapati Stasiun Jetis saja.
Stasiun Balong
Dari bekas Stasiun Jetis kemudian kami sampai di perempatan Ngasinan. Karena tidak menemukan bangunan Stasiun Ngasinan, lalu belok ke kanan atau ke arah barat menuju Balong. Di sepanjang perjalanan masih banyak bekas yang rel yang ada, tetapi sebagian besar sudah tertimbun tanah. Selain rel, juga masih banyak terdapat tiang sinyal dan bekas pondasi jembatan kecil.
 
30-jetis
31-jetis
Kondisi Bekas Jalur Rel Sepanjang Ngasinan – Balong
Tak sampai 10 menit kami tiba di bekas Stasiun Balong, cukup jelas terlihat dari jalan. Letaknya sebelum perempatan atau sebelum Pasar Balong. Bekas stasiun ini sekarang menjadi kios penjualan daging dan tempat tinggal. Sebagian besar bangunan masih asli, tetapi pada bagian belakang sudah ditambah bangunan baru yang menyatu dengan bangunan stasiun. Masih dapat ditemukan sedikit bekas rel di belakang bangunan. Akan tetapi, perubahan yang sedikit, tetapi fatal adalah rusaknya tulisan nama stasiun karena diberi kaca dan mengakibatkan satu huruf yang hilang, sehingga tulisannya menjadi “Balon”, nama yang cukup menggelitik.
32-balong
34-balong
35-balong
37-balong
38-balong
36-balong
Bekas Stasiun Balong
39-balong
Bekas Rumah Dinas Stasiun Balong
Stasiun Slahung
Dari perempatan Balong, kami melanjutkan perjalanan menuju ke arah selatan. Kami langsung saja menuju ke Slahung dikarenakan hujan sudah turun dan langit sangat gelap. Jalan menuju ke sana agak berkelok karena mulai memasuki pegunungan, terutama sebelum memasuki Slahung. Bekas jalur relnya berada di sebelah kiri, tetapi kemudian terdapat perlintasan dengan jalan sehingga posisi jalur rel berpindah ke kanan jalan dan terlihat gundukan tanah yang rapi.
40-balong
Rel menuju selatan di dekat Pasar Balong
Kami telah tiba di Slahung tetapi belum menemukan keberadaan stasiunnya. Oleh karena hujan yang deras lalu kami berteduh sebentar di emperan sebuah toko. Kami berjumpa dengan pemiliknya yang kebetulan sedang keluar, lalu kami bertanya lokasi bekas stasiun. Kami juga bertanya bagaimana tanggapan tentang rencana pengaktifan jalur Madiun-Slahung, dan ibu tersebut sangat mendukung rencana tersebut. “Wah saya malah setuju sekali mas kalau mau dihidupkan lagi keretanya. Dulu pas masih jalan keretanya di sini (Slahung) rame mas, kalau sekarang sepi,” ujar ibu tersebut.
Untuk menuju ke bekas Stasiun Slahung cukup mudah, tetapi agak masuk ke dalam, tepatnya di belakang pasar, melewati terminal. Ketika sudah memasuki Slahung sebelum tanjakan berjumpa dengan pertigaan Pasar Slahung, kemudian belok ke kanan atau ke arah barat. Bangunan bekas stasiun ini masih baik kondisinya, tetapi pintu dan jendela sudah ditutup semua dengan tembok mirip dengan kondisi bekas Stasiun Bringin, karena tempat ini sekarang digunakan untuk gudang jahe dan kunyit. Lebih parahnya di sekitar bangunan bau pesing karena sering digunakan untuk kencing sembarangan.
Kami sedikit melihat-lihat di sekitar lokasi karena kabarnya dulu ada dipo lokomotif di sini. Namun, kami tidak menemukannya. Hanya kami agak curiga dengan sebuah kolam yang ada di selatan stasiun, kemungkinan bangunan dipo telah dibongkar.
41-slahung
42-slahung
43-slahung
44-slahung
Bekas Stasiun Slahung
Pada petak Balong-Slahung terdapat Stasiun Nailan dan Jebeng. Namun, keduanya tidak dapat kami temukan.
Setelah kami menyelesaikan penelusuran hingga Stasiun Slahung, lalu kami kembali menuju Sukoharjo dalam kondisi hujan, bahkan ketika kami tiba di Wonogiri hujan menjadi sangat deras, hingga jalan tak terlihat dengan jelas. Walaupun lelah, tapi kami senang akhirnya dapat menelusuri jalur mati Ponorogo dan menginformasikan keadaan terkini di sana kepada kalian pemerhati sejarah dan pecinta kereta api.
Untuk blusukan selanjutnya di jalur ini dapat dibaca pada postingan Hilangnya Jalur Rel Tengah Kota Madiun dan Jalur Mati Madiun – Ponorogo
Thanks to:
  1. Aghi Wirawan (@aghi_wirawan)
  2. Ibu Komariah
  3. Dan semua pihak yang telah bersedia menjadi narasumber
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar